Hidrokarbon Nusantara

Hidrokarbon Nusantara

Sunday, March 27, 2016

China Never Recognizes Indonesian EEZ in Natuna Sea

On Monday, March 21, 2016, the Indonesian Minister of Foreign Affairs, Retno Marsudi, called the Charge d'Affaires of Chinese Embassy, Sun Wei Dei, protesting him for China aggressive violation on Indonesian right over their Exclusive Economic Zone (EEZ) around Natuna islands.  She put stress, in addition, that Indonesia is not among the claimant countries over the South  China Sea (SCS) so it is inappropriate for China to launch such aggressive action.

The incident which took place on Saturday, March 19, 2016, happened when Kway Fey 10078, Chinese fishing ship, ran around and collided in purpose the Indonesian coast guard KP Hiu 11 that pursued itThree Indonesian officials jumped and took over the Chinese boat transferring the Chinese crew into KP Hiu and guarded Kway Fey towards Natuna nearest base. On the way back just about entering into Indonesian territorial sea, a Chinese coast guard ship that silently pursued them unexpectedly collided and immobilized Kway Fey. Anticipating an aggravated situation, the three Indonesian officials jumped back to KP Hiu abandoning Kway Fey which was then tugged away by Chinese coast guard ship to their nearest base in SCS. KP Hiu 11, however, kept arresting Chinese crew and brought them to Tiga Natuna island base waiting for a legal process.

The incident showed that China never recognized Indonesian EEZ in the Natuna Sea. Chinese Charge d'Affaires clearly and openly stated that the fishing boat was operating in Chinese traditional fishing ground, not in Indonesia water. It is now clear for Indonesia that the issue is not merely on illegal fishing but far more seriously than that i.e. a maritime boundary dispute. 


T
he lesson never learned. Indonesia is always naive when facing a dispute such as in continental shelf or EEZ boundaries issue. Indonesia had a bad experience with Malaysia in Sipadan dispute because of its naivety. Now, when we have a maritime incident with China in Natuna Sea EEZ, again we cannot see what the bottom line is. Apart from several Indonesian ministerial protests put forward to the Chinese Embassy, the Indonesian Foreign Minister seemed satisfying herself by stating the China recognition over Indonesian sovereignty on the Natuna Islands and the right over their sea water. The minister failed, however, to notice that China only stated their recognition on Natuna sea water and never mentioned about Indonesian EEZ. 

If we look at the SCS map, it is obvious that China never challenges and claims Indonesia sovereignty upon the Natuna Islands. The Chinese nine-dash lines were clearly drawn crossing towards inside of our EEZ/Continental Shelf in the up north of Natuna Islands.  Indonesia gains nothing on China recognition on Indonesian sovereignty over Natuna islands as the Chinese nine-dash line already show it.  China indeed recognizes Natuna island as Indonesian territory and its sea water but it doesn’t mean that it recognizes the whole Natuna EEZ area. There is an obvious overlap between Chinese dash lines and our EEZ in the up north (see the strip lines on the map). Behaving like an ostrich, Indonesia pretends as though Chinese nine-dash lines will never pose any threat to Indonesia. As a non-claimant country, Indonesia believes that the Chinese side will do similarly. 

Now it is time for Indonesia to explicitly refuse recognizing China nine-dash lines that cross Indonesian EEZ/Continental Shelf or else where they are very remote from China mainland giving almost no room for their adversary countries to have their own EEZ. From the beginning Indonesia should judge this as Chinese injustice arrogance towards the international community especially its SCS neighboring countries, ignoring the basic principles of UNCLOS 1982. 
-

Indonesia should immediately withdraw its naïve role as a mediator, behaving like a good kid in the block dreaming that Beijing will be sincere towards Jakarta. China may be stunned or even mocked about Indonesian naivety as being itself a target but behaves as though nothing harmful will happen to Indonesia.  Sooner or later  Beijing will show its true determinism in imposing the whole nine-dash lines into effect including the section that crossing Indonesian EEZ/Continental Shelf. 

And the time now comes when Natuna incident emerged to the surface. China openly claimed that its fishing boat was operating in its traditional fishing ground. This is nothing but China open declaration that  Indonesian EEZ around the Natuna Islands simply doesn’t exist. It claims that what Indonesia considers as its EEZ  in Natuna sea covers what China considers as its traditional fishing ground in which the Chinese dash lines is the boundary.

Indonesia should be strong in maintaining the integrity of its EEZ as well as its Continental Shelf. Beneath Natuna water where Indonesian EEZ is located, there is abundantly oil and gas accumulations. For many decades Indonesia has developed most of that hydrocarbon fields but no single claim was heard from China on those resources. If China doesn’t recognize Indonesian EEZ around Natuna sea then sometime in the future when it feels strong enough with its military base in SCS it may also challenge the Indonesian Continental Shelf in the very same area.

Indonesian Foreign Affair Minister should be aware that the bottom line of the problem is not China recognition on Indonesian right over Natuna sea water but the explicit recognition on Indonesian EEZ and Continental Shelf both de facto and de jure. Observing China aggressiveness in imposing its nine-dash lines into effect, it is no doubt that the only language it speaks and understands to resolve the SCS dispute is power.

Indonesia is not alone in facing head to head against China.  If Indonesia likes to maintain its right in Natuna EEZ, there is no choice but to speak on the same language as China does. Indonesia should prioritize to strengthen its fleet in Natuna islands by increasing the number and capacity of coast guard ships as well as Navy warships. A strategic naval base should be built in the Natuna Islands not only to chase and intercept the illegal fishing boats but also to confront the danger from the north which now becomes real. 

Wednesday, July 9, 2014

KONTRAK PRODUCTION SHARING (KPS)




Kontrak Production Sharing (KPS)

Kontrak Production Sharing adalah suatu kerjasama antara PERTAMINA dan Perusahaan Swasta dalam rangka eksplorasi dan eks­ploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan Undang-undang No.44 Prp Tahun 1960 jo Undang-Undang No. 8 tahun 1971. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Perjanjian Kontrak Karya tidak digunakan lagi kecuali yang sudah ditandatangani sebelumnya dan berlaku sampai masa kontrak berakhir.

A.      Prinsip-prinsip Kontrak Production Sharing :

1.      PERTAMINA bertanggung jawab atas Mana­jemen Operasi.
2.      Kontraktor melaksanakan Operasi menurut Program Kerja tahunan yang sudah disetujui PERTAMINA.
3.      Kontraktor menyediakan seluruh dana dan teknologi yang dibutuhkan dalam operasi perminyakan.
4.      Kontraktor menanggung biaya dan risiko operasi.
5.      Kontraktor diijinkan mengadakan eksplorasi selama 6 (enam) sampai 10 (sepuluh) tahun. dan eksploitasi 20 (dua puluh) tahun atau lebih (jangka waktu kontrak 30 tahun).
6.      Kontraktor akan menerima kembali seluruh biaya operasi setelah produksi komersial.
7.      Produksi yang telah dikurangi biaya produksi, dibagi PERTAMINA dan kontraktor.
8.      Kontraktor wajib menyisihkan/mengembalikan sebagian wilayah kerjanya kepada Pemeritah.
9.      Seluruh barang operasi/peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik PERTAMINA dan untuk yang di impor setelah tiba di Indonesia. 
10.  Seluruh data yang didapatkan dalam operasi menjadi milik Pemerintah.
11.  Kontraktor adalah subyek pajak penghasil-an.dan wajib menyetorkannya secara lang-sung kepada Negara.
12.  Kontraktor wajib memcnuhi scbagian kebu-tuhan Minyak dan Gas Bumi Dalam Negeri (Domestic Market Obligation), maksimum 25% dari bagian KPS.
13.  Kontraktor wajib mengalihkan 10%Interest-nya setelah produksi komersial kepada Peru­sahaan Swasta Nasional yang ditunjuk PERTAMINA.

Catatan:

Perlu digaris bawahi disini bahwa kewajiban penyediaan minyak dalam negeri (DMO) sebesar maksimum 25% dari bagian kontraktor PSC yang diberlakukan selama 40 tahun sejak 1964 pada saat Perjanjian Karya berlaku dan diteruskan pada sistem Kontrak Production Sharing yang kemudian ditetapkan dalam UU Migas No. 22 tahun 2001 oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi melalui Keputusan Perkara MK No. 002/PUU-I/2003.
 
B.   Dalam perkembangan dan pelaksanaannya, KPS mengalami perubahan- perubahan diantara beberapa prinsip pokoknya. Pcrubahan-perubahan tersebut dilakukan akibat dari situasi perminyakan baik didalam maupun diluar negeri.Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, prinsip-prinsip KPS dapat dikelom-pokan sebagai berikut :

1.      Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi I (1964- 1977)

Kontrak ini merupakan bentuk awal KPS. Pada tahun 1973/1974 terjadi lonjakan harga minyak dunia, sehingga Pemerintah menetapkan kebijaksanaan bahwa sejak tahun 1974 Kontraktor wajib melaksanakan pembayaran tambahan kepada Pemerintah.

Prinsip-prinsip pokok KPS Generasi I secara rinci adalah sebagai berikut:
1.      Manajemen operasi ditangan PERTAMINA.
2.      Kontraktor menyediakan seluruh biaya operasi perminyakan.
3.      Kontraktor akan memperoleh kembali se­luruh biaya operasinya, dengan ketentuan maksimum 40 % setiap tahun.
4.      Dari 60% dibagi menjadi :
a.       PERTAMINA : 65%
b.      Kontraktor: 35%
5.      PERTAMINA membayar pajak pendapatan Kontraktor kepada Pemerintah.
6.      Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan BBM uniuk dalam negeri secara proporsional (maksimum 25% bagiannya) de­ngan harga US $ 0,20/barrel.
7.      Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh Kontraktor menjadi milik PERTAMINA.
8.      10% dari Interest Kontraktor ditawarkan kepada perusahaan Nasional Indonesia setelah lapangan dinyatakan komersial.
9.      Sejak tahun 1974 sampai dengan 1977, Kontraktor diwajibkan memberikan tam­bahan pembayaran kepada Pemerintah.

2.         Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978- 1987)

Pada tahun 1976 Pemerintah Amerika mengeluarkan IRS Ruling yang antara lain menetapkan bahwa penyetoran 60% Net Operating Income KPS (yang sesuai UU No.8 Tahun 1971 merupakan pembayaran pajak PER­TAMINA dan Kontraktor) dianggap sebagai pembayaran royalty, sehingga disarankan agar Kontraktor membayar pajak secara langsung kepada Pemerintah. Disamping itu perlu diterapkan Generally Accepted Ac­counting Procedure (GAP), dimana pembatasan pengembalian biaya operasi (Cost recovery Ceiling) 40%/tahun dihapuskan. Untuk KPS yang berproduksi dilakukan Amandment.

Prinsip-prinsip pokok KPS generasi II secara rinci adalah sebagai berikut:
1.      Tidak ada pcmbatasan pengembalian biaya operasi yang diperhitungkan oleh Kontraktor.
2.      Setelah dikurangi biaya-biaya pembagian hasil menjadi
a.       Minyak : 65,91 % untuk PERTAMINA, 34,09% untuk Kontraktor.
b.      Gas : 31,80% untuk PERTAMINA, 68,20% untuk Kontraktor.
3.      Kontraktor membayar pajak 56% secara langsung kepada Pemerintah.
4.      Kontraktor mendapat insentif
a.       Harga ekspor penuh untuk minyak mentah Domestic Market Obligation setelah lima tahun pertama produksi.
b.      Insentif pengembangan 20% dari modal yang dikeluarkan untuk fasilitas pro­duksi.

3.      Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi III (1988 - Sekarang).
1)      Pada tahun 1984 Pemerintah menetapkan Peraturan Perundang-undangan Pajak baru untuk KPS dengan tarif 48%. Namun peraturan tersebut baru dapat diterapkan terhadap KPS yang ditandangani pada tahun 1988, karena dalam perundingan-perundingan yang dilakukan, pihak Kontraktor masih mempunyai kecenderungan untuk menggunakan peraturan perpajakan yang lama.
a.       Dengan demikian pembagian hasil beru-bah menjadi :
b.      Minyak : 71,15% untuk PERTAMINA, 28,85% untuk Kontraktor.
c.       Gas : 42,31 % untuk PERTAMINA, 57,64% untuk Kontraktor.

2)      Bagian bersih setelah dikurangi pajak :
a.       Minyak : Indoncsia/Kontraktor = 85/15
b.      Gas : Indoncsia/Kontraktor = 70/30

Untuk lebih menarik minat para investor asing menanamkan modalnya di bidang usaha pertambangan migas di Indonesia yang nampak mulai mengalami penurunan akibat tidak menentunya harga minyak di pasar dunia. maka Pemerintah telah mengeluarkan beberapa paket insentif sebagai berikut:

1. Paket Insentif 23 September 1988
Sesuai Surat Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 3985 A/39/M.DJM/88 tanggal 23 September 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Insentif Pertama. Pada Paket Insentif yang Pertama di tetapkan hal-hal sebagai berikut :

  • Pemberian investment Credit, dengan syarat bahwa pemerintah hams memperoleh 49% dari pendapatan kotor tidak berlaku lagi.
  • Penetapan Komersialisasi, Jaminan minimum 25% dari pcndapatan kotor untuk Pemerintah tidak diperlukan.
  • Harga DMO, 10% dari harga ekspor sete­lah selesai 60 bulan pertama produksi.
  • Penyisihan minyak pertama (First Tranche Petroleum/FTP), 20% dari produksi disisihkan sebelum dikurangi biaya operasi kemudian dibagi antara PERTAMINA dan Kontraktor.
  • Pembagian Produksi antara Pemerintah/Pertamina dan Kontraktor di daerah Frontier:
           ·         sampai dengan 50 MBOPD = 80/20
           ·         50- 150 MBOPD - 85/15
           ·         150 MBOPD lebih = 90/10.
  • Tatacara Perizinan disederhanakan.

2. Paket insentif 23 Pebruari 1989
Sesuai Surat Menteri Pertambangan dan Energi Nomor0857/39/ M.DJM/89 tanggal 7 Maret 1989 Pemerintah mengeluarkan Paket Insentif Kedua yang mulai berlaku pada tanggal 23 Pebruari 1989. Pada Paket Insentif kedua ditetapkan hal-hal sebagai berikut:

  • Pembagian Produksi Pemerintah/Pertamina dan Kontraktor untuk lapangan margi­nal dan tertiary EOR : Pada wilayah konvensional : 80/20 dan pada wilayah frontier 75/25.
  • Pembagian produksi di daerah Pre-Tertiary dan Laut Dalam - Pembagian tambahan untuk produksi di frontier (lihat I).
  • Investment Credit untuk laut dalam : 110% minyak dan 55% Gas.
  • Perpanjangan masa eksplorasi : 6 tahun -1x4 tahun.
  • Harga Gas: Diorientasikan pada komersialitas pengembangan lapangan.
  •  Akses data : Tidak terbatas pada lahan yang ditenderkan.
  • Perolehan data lapangan dilakukan oleh PERTAMINA dan terbuka bagi Kontraktor.

3.  Paket Insentif 31 Aguslus 1992
Sesuai Surat Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 3052/39/M.DJM/1 992 tanggal 31 Agustus 1992, Pemerintah mengeluarkan Paket Insentif ketiga. Pada Paket Insentif ketiga ditetapkan hal-hal sebagai berikut :

  • Depresiasi atas biaya barang modal dite­tapkan separuh (50%) dari masa menfaat tiap jenis asset tanpa memperhitungkan besarnya cadangan gas.Investment Credit untuk pengembangan cadangan Pre Tersier: 110% minyak dan gas.
  • Investment Credit laut dalam antara 200 m sampai dengan 1.500 m : 110% minyak dan gas.
  • Investment Credit untuk laut dalam (> 1.500 m) : 125% minyak dan gas.
  • Harga DMO 15% dari harga ekspor.
  • Pembagian hasil gas pada wilayah Konvensional 65/35 dan pada wilayah fron­tier 60/40.
  • Pembagian hasil gas untuk pengembangan lapangan pada laut dalam (> 1.500 m) pa­da lahan lama 60/40 dan pada lahan baru (Frontier) 55/45.
  • Pembagian hasil minyak pada daerah fron­tier 80/20.
  • Pembagian hasil minyak untuk pengem­bangan lapangan di laut dalam (> 1.500 m) pada wilayah frontier 75/25.


4. Paket insentif 1 Januari 1994
Sesuai Surat Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01/39/M.DJM/1994 tanggal 1 Januari 1994, Pemerintah mengeluarkan Paket Insentif keempat Pada Paket Insentif keempat ditetapkan hal-hal sebagai berikut:

  • Pembagian hasil minyak pada daerah fron­tier dan laut dalam (> 1.500 m) : 65/35.
  • Pembagian hasil gas pada daerah frontier dan laut dalam (> 1.500 m) : 55/45.
  • Harga DMO 25% harga ekspor.
  • Penyisihan minyak pertama 15% dari pro­duksi disisihkan sebelum dikurangi biaya operasi kemudian dibagai antara PERTAMINA dan Kontraktor.